Senin, 30 Juli 2018

Muatan Kapal Indonesia Yang Dinikmati Pelayaran Asing


Masih belum dicabutnya moratorium nomor 183/X/DN-16 tanggal 28 Oktober 2016 tentang pelarangan kapal dibawah 500 GT berlayar lewat laut Sulu (Filipina) oleh pemerintah Indonesia, membuat pelayaran Indonesia seperti mati suri berkepanjangan. Keadaan ini sangat dinikmati perusahaan pelayaran asing di negara yang memiliki ratusan juta ton ekspor batubara ini.

Mandeknya pelayaran semakin lengkap dengan ditundanya pemberlakuan Permendag nomor 82 tahun 2017 untuk memberikan waktu kepada pemerintah Indonesia mempersiapkan armada kapal kapal pengangkut komoditas batubara dan minyak sawit keluar negeri.

Jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya masih tersisa harapan untuk mengamankan sebagian uang freight batubara yang bisa diekspor menggunakan kapal kapal berbendera Indonesia ke negara tetangga terdekat dari pusat industri batubara tersebut.

Seperti diketahui bersama,  industri batubara yang besar hanya terpusat di 3 provinsi Indonesia yaitu Kalimantan Selatan,  Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Jika diukur, jarak dari Samarinda ibukota Kalimantan Timur ke Filipina Selatan berkisar 560 nautical mil, atau kurang lebih sama dengan jarak dari Samarinda ke Surabaya. Dahulu rute ini sering ditempuh rombongan tongkang batubara ke Filipina, sampai akhirnya para perompak di laut Sulu melumpuhkan kegiatan tersebut.

Semenjak maraknya pembajakan kapal di laut Sulu Filipina, pemerintah dengan moratorium Kemenhub (revisi) nomor 183/X/DN-16 tanggal 28 Oktober masih melarang kapal-kapal dibawah 500 GT melakukan pelayaran ke Filipina. Artinya kapal tug boat yang menggandeng tongkang, dilarang berlayar menuju Filipina lewat laut Sulu.

Apabila dilihat dari jenis kapal pengangkut batubara, maka dunia pelayaran hanya menggunakan 2 jenis kapal untuk mengangkut muatan curah tersebut. Yang pertama adalah bulker ukuran 40.000 ton (Handy max) keatas, dan kedua adalah tongkang dengan kapasitas sekitar 8.000 ton. Tidak ada kapal jenis lain yang ekonomis apabila dipakai mengangkut muatan jenis tersebut.

Dengan masih dilarangnya tongkang berlayar ke Filipina (satu-satunya negara luar yang ekonomis dan aman dari aspek inland water nya) maka praktis hampir tidak ada ekspor batubara menggunakan armada nasional, kecuali kapal bulker yang masih sedikit jumlahnya di Indonesia. 

Tidak heran apabila melihat area Ship to Ship di Muara Mahakam dan Barito tempat memuat batubara dari tongkang tongkang ke mother vessel/ bulker, ibarat melihat anchorage di luar negeri. Karena 97 persen bulker yang ada disana adalah kapal bendera asing, sementara rejeki dari uang freight buat kapal bendera Indonesia masih sebatas transhipment dari dalam sungai ke muara nya saja.

Apabila di ekspor batubara ukuran kapal besar kita menyerah karena dianggap belum siap, maka di ekspor batubara menggunakan tongkang kita menyerah di tangan perompak.

Adakah solusi yang bisa dijadikan jalan keluar, agar kita tidak terus menyerah dengan keadaan dan menunjukkan jatidiri sebagai bangsa yang tangguh?

Masalah ini dahulu sering dibahas untuk dicarikan solusinya, mulai dari kemungkinan joint force patrol antara Indonesia, Malaysia dan Filipina sampai kepada penempatan pasukan bersenjata (armed force on board) diatas konvoi tongkang tongkang tersebut. Opsi pertama sepertinya tidak akan terlaksana karena Malaysia tidak punya kepentingan ekonomis di pelayaran tersebut, dan mereka pasti lebih suka melihat Indonesia tidak bisa melakukan ekspor menggunakan kapalnya sendiri.

Dalam beberapa kesempatan, ada instansi-instansi professional jasa pengamanan yang menawarkan penempatan Armed Force yang dianggap bisa menjaga keamanan kapal di rute tersebut. Tetapi hal tersebut masih terganjal dengan adanya moratorium pelarangan diatas.

Berkaca dari sejarah rawannya Selat Sumatera (antara Sumatera dan Malaysia) dahulu, pengguna jasa pelayaran disana tidak serta merta menyerah begitu saja. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, kini selat tersebut bisa dibilang aman untuk dilewati.

Pelarangan berlayar adalah bentuk tindakan defensif yang paling mudah, dan kita harus terus ikhlas di intimidasi oleh kekuatan sang pengancam, tetapi sampai kapan ini terus berlangsung? Negara kita yang sudah kesulitan mendapatkan hasil freight atas komoditinya, akan semakin terpuruk dengan tidak adanya solusi atas keadaan ini.

Sewajarnya pemerintah membuka opsi lain selain pelarangan tersebut, karena lemahnya industri pelayaran di negara ini akan menjadi rejeki pelayaran negara lain dan itu sangat dinikmati oleh mereka. Untuk saat ini kita masih harus ikhlas menerima bahwa Foreign Ships Follow our Trade.

sumber: emaritim 

0 komentar:

Posting Komentar