Senin, 18 Februari 2019

OPINI KAPLER MARPAUNG: Menyoal Aturan Mengenai Asuransi Ekspor Impor


Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dalam memberikan peluang usaha dan melindungi pelaku usaha dalam negeri dengan membuat peraturan wajib penutupan asuransi atas ekposr dan impor untuk barang tertentu kepada perusahaan asuransi nasional, patut dihargai.

Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 82/Tahun 2017 Tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan laut dan Asuransi Nasional Untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.

Langkah yang ditempuh Kementerian Perdagangan ini selayaknya diikuti oleh lembaga atau instansi pemerintah lainnya untuk melindungi kepentingan nasional, yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian indonesia melalui sektor jasa keuangan melalui subsektor perasuransian sebagai salah satu pilar pembangunan nasional.

Peluang pertumbuhan industri perasuransian nasional masih sangat terbuka luas apabila didukung oleh kebijakan asuransi wajib melalui peraturan perundangan dari pemerintah atau legislatif. Dengan catatan harus tetap menjaga persaingan sehat dan tidak menciptakan pasar monopoli atau aligopoli. Ini menjadi harapan besar para pelaku industri perasuransian nasional.

Namun sangat disayangkan karena kemudian Kementerian Perdagangan menerbitkan lagi Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 80/Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 82/2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional Untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 80/2018 ini memuat beberapa perubahan. Misalnya pertama, pasal 1 (6) mengubah definisi perusahaan perasuransian menjadi terbatas hanya Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Syariah.

Kedua, pasal 3 (1.b) mempertegas bahwa perusahaan perasuransian adalah perusahaan asuransi nasional atau konsorsium perusahaan asuransi nasional.

Ketiga, menghapus seluruh isi pasal 4 sehingga ketentuan menutup asuransi wajib kepada perusahaan perasuransian nasional menjadi tidak ada.

Definisi dari ‘perusahaan perasuransian’ sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 80/2018 jelas bertentangan dengan definisi dari Perusahaan Perasuransian berdasarkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian di Indonesia, dimana usaha perasuransian lainnya seperti usaha pialang asuransi sebagai pihak yang memiliki fungsi dan peran strategis dalam penutupan asuransi tidak disebutkan.

Sejatinya peraturan menteri tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Terakhir, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perdagang Luar Negeri No. 02/DAGLU/PER/1/2019 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Ketentuan Penggunaan Asuransi Nasional Untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.

Beberapa ketentuan teknis yang datur dalam peraturan ini antara lain adalah permohonan sebagai perusahaan asuransi harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal, modal disetor Perusahaan Perasuransian (asuransi) Nasional paling sedikit Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dan ekuitas Perusahaan Perasuransian (asuransi) nasional paling sedikit Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar) untuk perusahaan secara individu maupun konsorsium.

Dasar pertimbangan yang digunakan Kementerian Perdagangan menetapkan minimal modal disetor Rp100 miliar kelihatannya kurang tepat. Dalam menilai sehat tidaknya suatu perusahaan asuransi nasional, parameter utamanya sebenarnya bukan besaran modal disetor. Itu sebabnya lembaga-lembaga pemeringkat perasuransian, baik di dalam negeri maupun luar negeri bahkan regulator sendiri, hampir tidak pernah memasukkan aspek modal disetor menjadi salah satu kriteria penilaian dalam menetukan satu perusahaan asuransi sehat atau tidak.

Aspek keuangan yang jauh lebih penting dari modal disetor adalah ekuitas atau modal sendiri. Ekuitas suatu perusahaan asuransi bisa berubah setiap saat, dimana ekuitasnya bisa lebih rendah atau lebih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari modal disetor.

Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan, salah satu indikator suatu perusahan asuransi dikatakan sehat adalah apabila memiliki ekuitas minimal Rp100 miliar setiap saat. Perusahan dengan modal awal disetor Rp100 miliar, bila hasil kerja operasionalnya rugi maka ekuitasnya akan pasti berada dibawah modal setornya.

Sebaliknya sangat banyak perusahaan asuransi yang modal setornya masih dibawah Rp100 miliar tetapi memiliki ekuitas cukup besar, bahkan mencapai Rp300 miliar. Perusahaan-perusahaan asuransi dengan modal disetor paling sedikit Rp100 miliar dimulai sejak Peraturan Pemerintah No. 63/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 73/ 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 73/1992 persyaratan modal disetor untuk mendirikan perusahaan asuransi adalah minimal sebesar Rp3 milir. Dalam Peraturan Pemerintah No. 63/1999 tidak mengatur perusahaan yang sudah berdiri sebelum peraturan pemerintah ini terbit harus menyesuaikan jumlah minimal modal setor.

Apa yang diatur adalah batas tingkat solvabilitas dan jumlah ekuitas. Oleh karena itu, kebijakan Kementerian Perdagangan membuat syarat modal disetor minimal Rp100 miliar untuk dapat menjadi peserta penutupan asuransi ekspor dan impor barang tertentu karena dinilai sehat, adalah suatu kebijakan yang sangat keliru dan patut dikaji ulang.

Ada berapa masukan yang dapat disampaikan kepada Menteri Perdagangan agar penutupan Asuransi Ekspor dan Impor untuk Barang Tertentu tidak menimbulkan polemik di industri perasuransian nasional, sesuai dengan best practice dan tujuan dari diterbitkannya peraturan dimaksud dapat tercapai.

Pertama, persyaratan modal disetor paling sedikit Rp100 miliar diganti menjadi ekuitas paling sedikit Rp100 miliar. Kedua, perlu melibatkan peran pialang asuransi, karena fungsi dan peran dari pialang asuransi adalah mewakili pihak tertanggung serta selama ini sudah sangat banyak pula perusahaan pelayaran maupun perusahaan ekspor dan impor telah menggunakan jasa mereka.

Keterlibatan perusahaan pialang asuransi akan sangat berguna, khususnya dalam penutupan asuransi secara konsorsium dan juga tentunya penutupan yang dilakukan kepada perusaaan asuransi yang memiliki ekuitas minimal Rp500 miliar.

Ketiga, perlu dibentuk konsorsium perusahaan asuransi nasional dengan persyaratan ekuitas minimal Rp100 miliar.

sumber:  bisnis 


0 komentar:

Posting Komentar