Senin, 04 Desember 2017

Mengasuransikan Banjir


Dalam kurun waktu tahun 1970-2012, banjir di Thailand tahun 2011 memecahkan rekor klaim asuransi banjir terbesar di dunia. Data Swiss Re (2012) menyebutkan klaim asuransi US$12 miliar atau 1850% dari premi asuransi properti. Kerugian asuransi mencapai 3,44% dari produk domestik bruto (PDB) Thailand.

Banjir makin menjadi ancaman serius di dunia. Dampak banjir menyengsarakan 500 juta orang di dunia per tahun. Klaim naik signifikan dari U$1-2 miliar di tahun 1970-an menjadi US$15 miliar di tahun 2011.

Di Indonesia, sejak tahun 1815, bencana yang paling sering terjadi adalah banjir yang mencapai 38%. Disusul tanah longsor dan puting beliung masing-masing 18% (BNPB, 2013).

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia mengestimati klaim asuransi akibat banjir Jabodetabek bulan Januari lalu sekitar Rp3 triliun. Lebih besar dari klaim banjir tahun 2007 (Rp2,063 triliun) dan 2012 (Rp1,52 triliun).

Klaim asuransi Indonesia akibat banjir ini kurang dari 0,04% dari PDB Indonesia. Jauh lebih kecil dibandingkan kerugian asuransi di Thailand saat banjir tahun 2011.



Banjir di Thailand memang jauh lebih besar. Namun besarnya kerugian asuransi menunjukkan bahwa properti yang diasuransikan di Thailand sangat besar. Sedangkan properti yang diasuransikan untuk risiko banjir di Indonesia masih sangat kecil.

Rakyat Thailand memang lebih sadar asuransi. Data Sigma (2012) menunjukkan bahwa insurance penetration (perbandingan premi dengan PDB) di Thailand sebesar 4,4% atau berada di posisi ke-34 dunia. Sedangkan Indonesia sebesar 1,7% atau di posisi ke-67.

Mengapa tidak berasuransi?

Banjir menjadi risiko yang mengancam properti seperti rumah, pabrik, kantor dan lainnya. Termasuk mengancam kendaraan serta jiwa dan raga manusia.

Masyarakat atau perusahaan dapat memilih asuransi sebagai mekanisme transfer risiko. Risiko kerugian akibat banjir tak ditanggung sendiri, tetapi dipindahkan ke perusahaan asuransi. Ada beberapa alasan umum mengapa masyarakat belum/tidak berasuransi.

Pertama, merasa bisa mengatasi risiko banjir. Pertimbangannya, risiko banjir dianggap kecil atau sudah melakukan langkah preventif. Berasuransi dianggap membuang duit karena tanpa asuransi, banjir sudah dapat diatasi.

Risiko banjir memang tak perlu diasuransikan ketika hasil analisis risiko menyatakan bahwa peluang terjadinya banjir dan/atau dampaknya kecil. Juga saat upaya preventif telah dilakukan sehingga efektif menurunkan risiko banjir.

Kedua, tidak tahu manfaat asuransi. Bahkan tidak mengerti bahwa risiko banjir bisa dipindahkan ke perusahaan asuransi. Ini terjadi pada orang-orang yang tidak kenal asuransi.

Persoalan ini adalah tantangan bagi industri asuransi. Perlu sosialisasi menerobos ke seluruh lapisan masyarakat agar asuransi dipahami dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Ketiga, khawatir bayar premi mahal. Masyarakat sudah memiliki persepsi tentang asuransi dan kemudian mengambil jarak. Ini juga seharusnya tak perlu terjadi.

Harus ada penjelasan dan ilustrasi ke masyarakat. Tarif premi perluasan risiko banjir untuk properti sekira 0,5 per mil. Jaminan banjir memang masih dalam bentuk perluasan jaminan dari asuransi kebakaran.

Sebagai contoh, rumah seharga Rp100 juta (bangunan dan isi, tidak termasuk tanah). Bila tarif asuransi kebakaran 0,56 per mil, maka preminya Rp56 ribu setahun. Dengan tambahan jaminan risiko asuransi banjir, tarif 0,5 per mil, maka tambahan premi sebesar Rp50 ribu setahun.

Ada juga perusahaan asuransi yang memberikan paket asuransi rumah dengan tarif 0,14 persen untuk jaminan yang lengkap. Tak hanya jaminan di Polis Standar Asuransi Kebakaran Indonesia/PSAKI (kebakaran, petir, ledakan, kejatuhan pesawat dan asap), juga ditambah dengan jaminan banjir, kecelakaan diri keluarga, pencurian, biaya tinggal sementara dan lainnya. Cukup dengan premi Rp140 ribu setahun, sudah mendapatkan jaminan yang banyak.

Di tengah persaingan asuransi yang ketat, tarif premi masih bisa ditawar atau minta diskon. Tentu saja, ada tarif yang lebih besar untuk wilayah yang rawan banjir.

Keempat, khawatir ribet bila mengajukan klaim. Kekhawatiran ini wajar. Tak jarang di media massa dimuat keluhan pelayanan klaim asuransi. Baik klaim ditolak, proses lama atau pembayaran tak sesuai tuntutan.

Persepsi negatif ini harus dikikis oleh industri asuransi untuk memberi palayanan klaim yang cepat dan cermat. Masyarakat juga perlu dididik untuk memilih perusahaan asuransi yang bagus dalam pelayanan.

Kelima, masyarakat tak mampu bayar premi. Ilustrasi premi di atas memang ‘hanya’ Rp50 ribu. Tapi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, nilai itu cukup signifikan untuk kebutuhan lainnya.

Mengatasi masalah ini, perlu ada dukungan pihak lain yakni pemerintah. Bentuknya bisa dalam subsidi premi. Industri asuransi perlu membahas dengan pemerintah dalam menyelenggarakan asuransi banjir untuk masyarakat.

Kecukupan jaminan & memahamkan tertanggung

Klaim akibat banjir paling banyak dari asuransi harta benda dan asuransi kendaraan. Klaim untuk jenis asuransi lain, termasuk asuransi jiwa, tidak besar.

Tidak semua polis asuransi menjamin risiko banjir. Ini harus dijelaskan ke tertanggung (pemegang polis). Asuransi harta benda tidak menjamin banjir bila polisnya hanya PSAKI.

Mobil yang terendam juga tak akan diganti kerugiannya bila polisnya tanpa perluasan risiko banjir. Jaminan komprehensif dalam asuransi kendaraan (sering disalahsebut all risks) dalam Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia (PSAKBI) juga tak ada jaminan banjir.

Bagi yang tidak paham polis, saat diinfokan jenis polis adalah komprehensif, dianggap ada jaminan banjir. Padahal belum ada. Tertanggung seringkali tak paham jaminan di dalam polis asuransi. Meskipun polis sudah di tangan, belum tentu dibaca. Padahal polis adalah perjanjian yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Tertanggung tak sepenuhnya paham risiko apa saja yang dijamin dan apa saja yang dikecualikan. Pascabanjir banjir di Jabodetabek Januari lalu misalnya, beredar informasi melalui e-mail dan blackberry messanger bahwa perusahaan asuransi tidak akan mengganti kerugian mobil akibat water hammer yang disebabkan mobil dihidupkan setelah terendam banjir.

Kontan saja, informasi ini membuat ketakutan tertanggung. Di dalam polis sebenarnya jelas disebutkan apa saja yang dijamin dan apa saja yang tidak dijamin. Sederhananya, sepanjang penyebabnya (proximate cause) adalah banjir dan tidak ada pengecualian water hammer, maka polis akan menjaminnya.

Upaya memahamkan tertanggung tentang apa yang ada di dalam polis dapat mereduksi potensi perselisihan di kemudian hari. Broker, agen asuransi dan perusahaan asuransi punya tanggung jawab ini. Upaya preventif ini perlu dilakukan oleh perusahaan asuransi dalam rangka terus memberikan pelayanan terbaik dan untuk menjaga citra industri asuransi di masyarakat.

Kepedulian industri asuransi

Untuk masyarakat menegah ke bawah, perlu diberi stimulus agar mereka berasuransi. Industri asuransi tak perlu melakukan kalkulasi untung-rugi untuk memberikan jaminan banjir kepada mereka. Perlu produk asuransi mikro dengan premi yang ringan. Bentuk lain bisa berupa diskon premi yang signifikan atau jaminan asuransi banjir secara gratis.

Aksi industri asuransi tersebut dapat dianggap sebagai manifestasi corporate social responsibility (CSR). CSR industri asuransi tak perlu ikut model CSR secara umum seperti bentuk filantropi, bantuan bencana atau sejenisnya. Industri asuransi dapat menginisiasi model CSR khas asuransi.

Dengan memberikan jaminan asuransi banjir, bahkan secara gratispun, perusahaan asuransi belum mengeluarkan dana. Pemberian santunan baru diberikan ketika masyarakat terkena banjir. Kepedulian ini akan memberikan citra positif industri asuransi. Kesadaran berasuransi akan terkerek naik. Dalam jangka panjang, akan meningkatkan permintaan asuransi.

sumber: Bisnisglobal, 03/13

0 komentar:

Posting Komentar