Rabu, 06 Desember 2017

Asuransi Gempa Bumi, Tanggap Resiko Bencana di Wilayah "Ring of Fire"


Seperti apa rasanya bermukim di wilayah Ring of Fire (cincin api)? Saya ingin katakan: ngeri-ngeri sedap. Ngeri, karena wilayah itu sering di”goyang” gempa bumi. Sedap, umumnya lahan yang terdapat disana subur. Dari lahan subur itu masyarakat merenda hidup, membangun perekonomian. Oleh karena itulah, mereka tak beranjak dari sana meski terus menerus di”goyang” gempa bumi.

Pulau Sumatera salah satu contohnya. Wilayah ini termasuk dalam jalur Ring of Fire Pasifik. Jalur yang berbentuk tapal kuda, mencakup wilayah sepanjang 40.000 kilometer. Wilayahnya mengelilingi cekungan Samudera Pasifik, dikenal sebagai kawasan yang paling sering dilanda gempa bumi dan letusan gunung api.

Buktinya, barangkali kita masih teringat peristiwa 26 Desember 2004, ketika wilayah paling  barat Pulau Sumatera di”goyang” gempa 8,9 skala richter. Bukan itu saja, gempa dahsyat itu diikuti Super Tsunami yang menyapu hampir seluruh daratan Provinsi Aceh. Bencana itu juga menghancurkan ribuan bangunan dan permukiman, serta merenggut korban jiwa yang mencapai 150 ribu jiwa lebih.

Tidak berhenti disana, tanggal 2 Juli 2013, gempa bumi dengan kekuatan 6,2 SR kembali meng”goyang” Dataran Tinggi Gayo meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Gempa tektonik yang dikenal dengan nama Gempa Gayo itu melumpuhkan 2/3 wilayah Aceh Tengah karena sebagian besar infrastruktur, bangunan, gedung sekolah, permukiman bahkan sampai merenggut puluhan korban jiwa.

Kenapa Dataran Tinggi Gayo rawan gempa bumi? Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Aceh, Faizal Adriansyah melalui Okezonedotcom (3 Juli 2013) mengatakan: gempa yang terjadi di Dataran Tinggi Gayo akibat pergeseran sesar Sumatera atau patahan Semangko.

Patahan Semangko memiliki sesar-sesar kecil yang menyebar pada beberapa wilayah di Aceh, baik di utara maupun di selatan seperti patahan Lokop-Kutacane, Blang Kejeren-Mamas, Kla-Alas, Reunget-Blang Kejeren, Anu-Batee, Samalanga-Sipopoh, Banda Aceh-Anu, dan Lamteuba-Baro.

Gambaran tersebut mempertegas kepada warga di Provinsi Aceh, khususnya Dataran Tinggi Gayo, bahwa mereka sedang bermukim diatas sesar Sumatera atau patahan Semangko. Berdasarkan  fakta empirik itu, mau tidak mau warga di kawasan tersebut harus “bersahabat” dan tanggap resiko bencana gempa.

Untuk melindungi diri dan keluarga, semua konstruksi di daerah ini harus mengacu kepada  bangunan ramah gempa. Kemudian, semua warga harus memahami cara menyelamatkan diri ketika gempa meng”goyang” kawasan tersebut. Paling penting, warga perlu berpikir untuk  mengsuransikan jiwa, aset dan bangunan yang dimiliki.


Orang Kaya Jatuh Miskin

Soalnya, gempa yang terjadi dengan skala diatas 6 SR, biasanya akan menghancurkan  bangunan, gedung dan aset yang dimiliki warga. Akibatnya tidak tanggung-tanggung, orang kaya bisa jatuh miskin, bahkan orang miskin bisa makin miskin. Penyebabnya, para korban gempa telah kehilangan segala harta bendanya, baik tempat tinggal, tempat usaha, maupun lapangan pekerjaan.

Dalam kondisi seperti itu, sesungguhnya semua korban gempa ingin segera recovery. Sayangnya, jangankan dana cash, aset yang dimiliki sudah hancur semuanya. Ujung-ujungnya mereka pasrah, menunggu bantuan pemerintah atau donatur yang bermurah hati.

Ironi dan kepedihan seperti itu bukan isapan jempol. Hal seperti itu sudah dirasakan langsung oleh salah seorang  korban Gempa Gayo, Haji Rasyid. Pengusaha Oro Kopi Gayo Takengon yang beromset puluhan juta rupiah per hari itu nyaris putus asa karena tidak mampu untuk recovery.

Sebagaimana diungkapkan Haji Rasyid dalam buku Hikayat Negeri Kopi (2016) halaman 207, bahwa utang untuk membangun laboratorium uji cita rasa kopi belum lunas. Dia tidak tahu bagaimana membayar utang ke bank sementara tempat usahanya sudah hancur.

“Saya tidak mengasuransikan gedung itu. Mungkinkah pihak bank akan memberi kemudahan?” gumam Haji Rasyid.

Ungkapan itu dibeberkan Haji Rasyid tanggal 21 Juli 2013 ketika saya berkunjung ke komplek Oro Kopi Gayo. Disana, saya melihat semua bangunan sudah kupak kapik. Seperti laboratorium uji cita rasa kopi sekaligus sebagai tempat roasting kopi, bangunan megah yang baru selesai dibangun, tidak luput dari kehancuran. Dinding dan struktur bangunannya pecah dan patah, nyaris tidak dapat digunakan sama sekali.

Haji Rasyid terpaksa memindahkan pusat roasting ke sepetak ruang kantor yang masih bisa digunakan meskipun dindingnya retak. Ruang itu sangat sempit, luasnya hanya 12 meter²,  sehingga para pekerja tidak bisa bergerak secara leluasa. Dalam kondisi darurat, sesungguhnya semua itu bukan kendala.

Kata Haji Rasyid pada waktu itu, usaha harus berjalan, pesanan (order) pelanggan harus dipenuhi, dan gaji pekerja harus dibayar. Ruangan itu memang sempit dan kurang memadai untuk melanjutkan proses produksi, tetapi harus digunakan demi keberlanjutan usaha.

Menghadapi masa-masa sulit seperti itu, lelaki paruh baya itu merasa "menyesal" tidak mengasuransikan aset dan bangunan miliknya. Seharusnya, dia bisa recovery dengan cepat apabila ada pertanggungan asuransi. Bangunan dan aset yang rusak bisa diperbaiki dalam tempo sesingkat-singkatnya sehingga produksi akan berjalan seperti sediakala.

Tetapi, kata lelaki itu, di daerah itu sepengetahuannya belum ada asuransi yang mau memberi pertanggungan terhadap kerusakan akibat gempa bumi dan bencana alam. Para agen asuransi menganggap bahwa kerusakan akibat gempa bumi sebagai kuasa tak terlawan (force majeur).

sumber: kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar